Penerapan sanksi administrasi dalam sistem perpajakan Indonesia sangat ditentukan oleh kaidah formal yang berlaku, terutama terkait status Wajib Pajak. Isu krusial ini terungkap dalam sengketa gugatan yang diajukan oleh PT BHN atas Keputusan penolakan pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) PPN Masa Pajak Juni 2019. Sengketa ini berpusat pada pertanyaan mendasar: apakah sanksi Pasal 7 ayat (1) UU KUP untuk keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN dan sanksi Pasal 14 ayat (4) UU KUP untuk tidak membuat Faktur Pajak dapat dikenakan kepada Wajib Pajak yang secara material wajib menjadi PKP namun secara formal belum dikukuhkan pada periode sengketa? Kasus ini menyoroti kompleksitas antara kewajiban material dan penetapan formal dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) serta implikasi yuridis sanksi administratif.
Inti konflik dalam kasus ini membagi pandangan dua pihak. DJP yang menemukan bahwa omzet PT BHN pada Februari 2019 telah melampaui Rp4,8 miliar, yaitu batas pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 3A ayat (1) UU PPN. Berdasarkan temuan tersebut, secara material PT BHN telah memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) meskipun secara formal PT BHN baru dikukuhkan sebagai PKP pada 27 Maret 2024, namun secara material kewajiban perpajakan sudah timbul sejak omzet tahunan melewati ambang batas Rp4,8 miliar. Oleh karena itu, Penerbitan STP sanksi administrasi tersebut dianggap sah, meskipun secara formal pengukuhan PKP dilakukan kemudian.
Namun demikian, PT BHN melancarkan bantahan dengan argumen formal-prosedural yang kuat. PT BHN mendalilkan bahwa sanksi administrasi berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (4) UU KUP hanya dapat diterapkan kepada Wajib Pajak yang telah berstatus resmi sebagai PKP. Karena Penggugat belum dikukuhkan sebagai PKP pada Masa Pajak Juni 2019, maka kewajiban formal PPN, yang merupakan dasar penerbitan sanksi tersebut, belum mengikat secara hukum. Selain itu, PT BHN bergerak dibidang perdagangan ikan segar (tuna, tongkol dan cakalang) yang dibeli langsung dari nelayan tanpa proses pengolahan lebih lanjut, selain pendinginan yang termasuk barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN. Oleh karena itu, penerbitan STP sanksi administrasi oleh Tergugat dinilai cacat prosedur.
Dalam pandangannya, Majelis menilai bahwa tindakan administratif seperti pengukuhan PKP adalah prasyarat formal yang melahirkan kewajiban lapor SPT dan membuat Faktur Pajak. Dengan tidak adanya penetapan PKP secara resmi, STP sanksi administrasi tersebut kehilangan dasar legalitas formalnya dan harus dibatalkan. Selain itu, karena penyerahan ikan segar tergolong barang yang tidak dikenai PPN, penerapan sanksi administrasi terkait PPN menjadi tidak memiliki dasar hukum, sekalipun DJP berpendapat bahwa omzet Penggugat telah melebihi ambang batas PKP. Dengan demikian, STP yang diterbitkan DJP dinyatakan cacat formil dan materiil serta harus dibatalkan karena bertentangan dengan asas legalitas formal dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
Analisis putusan ini membawa implikasi signifikan bagi praktik perpajakan, terutama bagi Wajib Pajak yang penjualannya berada di ambang batas PKP. Pelajaran utamanya adalah bahwa meskipun DJP memiliki hak untuk menagih sanksi berdasarkan kewajiban material, aspek formal pengukuhan PKP menjadi penentu sah atau tidaknya penegakan sanksi administrasi PPN tertentu di Pengadilan Pajak. Untuk Wajib Pajak, strategi terbaik adalah proaktif mengajukan pengukuhan PKP segera setelah ambang batas omset terlampaui untuk menghindari sengketa serupa. sekaligus memastikan klasifikasi barang atau jasa yang diperdagangkan sudah sesuai ketentuan PPN agar terhindar dari potensi sengketa di kemudian hari.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini